Pemerintah gencar mengampanyekan agar mayarakat tidak menatap matahari saat gerhana 11 Juni 1983, karena bisa menyebabkan kebutaan. Himbauan ini disampaikan oleh Menteri Penerangan Harmoko yang menginstruksikan masyarakat agar menyaksikan gerhana lewat siaran langsung TVRI atau mendengarkan siaran RRI saja.
Imbauan yang menurut Harmoko adalah instruksi langsung dari Presiden Soeharto itu diulangi oleh pejabat di pusat hingga pengurus RT. Daerah yang dilintasi gerhana seperti Jawa Tengah dan Jawa Timur, kampanye larangan menonton gerhana ini dipimpin langsung oleh gubernur atau wakil gubernur.
Setiap kelurahan di provinsi-provinsi itu bahkan menyiapkan 75 orang penyuluh yang berkeliling setiap hari mengingatkan agar jangan menonton gerhana. Karena para penyuluh ini mendapat uang lembur, mereka kerap berseloroh agar gerhana bisa diundur karena bisa dapat tambahan penghasilan.
Ribuan spanduk juga dipasang di jalan-jalan utama, jutaan pamflet disebar, bahkan ada selebaran yang "diterjunkan" dari pesawat. "Hanya satu cara melihat gerhana dengan aman, lihatlah melalui layar TVRI Anda," begitu anjuran yang disampaikan setiap sore oleh TVRI, satu-satunya stasiun televisi yang ada ketika itu.
Kecemasan akan naiknya angka orang buta akibat gerhana juga muncul di media cetak. Harian Kedaulatan Rakyat pada 10 Juni 1983 memuat artikel berjudul Kini di Indonesia Ada 1.911.000 Orang Buta, Setelah GMT Berapa?"
Artikel itu menyebut bahaya menatap gerhana matahari karena bisa bikin mata buta. "Pokoknya jangan melihat langsung, lihat saja lewat televisi, semoga kita terhindar dari bahaya," tulis Sarwidji, si penyusun artikel.
Larangan menonton gerhana ini juga muncul sebelum film diputar di bioskop. Ketika itu orang menyebutnya "slide antibuta". Bahkan sejak 1 Juni 1983, panggung wayang orang Sriwedari dan pertunjukan Srimulat di Solo pun dititipi penyuluhan soal gerhana.
Bahkan pemerintah juga memberangus buku-buku yang mengajarkan cara melihat gerhana dengan aman. Buku Pemandu Wisata Gerhana Matahari Total terbitan PT Promosi Nusantara, misalnya, disita pemerintah provinsi Jawa Timur karena buku setebal 27 halaman itu ada lampiran cara membuat alat melihat gerhana.
Pemerintah juga melarang penjualan "kaca mata gerhana". Produsen kaca mata seperti PD Besar Bandung pun terpaksa memusnahkan 18 ribu kaca mata yang siap jual.
Razia juga meluas ke jimat. Aparat keamanan di Madura menyita jimat seharga Rp 1.000 yang pemakainya konon bisa melihat gerhana dengan mata telanjang dan tidak buta. Sementara itu di Manado, pemerintah setempat secara khusus menghimbau bahwa opo-opo alias jimat tidak akan mampu melawan kebutaan akibat gerhana.
Rupanya kampanye ini ampuh karena saat gerhana jalan-jalan di Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur sepi. Mayoritas orang sembunyi di dalam rumah.
Menpen Harmoko mengatakan kepatuhan masyarakat mengikuti petunjuk pemerintah mengenai cara menyaksikan gerhana menunjukkan bukti keberhasilan kegiatan penerangan pemerintah. Harmoko menganggap keterangan soal gerhana cukup jelas dan tidak bernada menakut-nakuti. "Sementara masyarakat mau meresapi informasi tersebut," ujarnya.
Sumber : Detik.com