Jika ingin merasakan kampung di atas laut yang lebih asli bisa berkunjung ke Melahing, Tihi-Tihi, dan Selangan. Namun, bisnis wisata belum merambah ketiga kawasan itu. Berkunjung ke ketiga tempat tersebut bisa menjadi sebuah petualangan alam bebas yang mengasyikkan asal dipersiapkan dengan baik dan mungkin mau sedikit repot, seperti memastikan ada perahu yang akan membawa wisatawan ke lokasi kampung di atas laut.
Warga Melahing, misalnya, menyebutkan, hanya satu-dua wisatawan saja yang datang. Ada juga mahasiswa yang datang untuk penelitian.
Awal Agustus lalu, perjalanan dari Jakarta ke Melahing terwujud. Perahu yang dikemudikan Rasyid, nelayan lokal, melaju pelan membelah Selat Makassar. Dengan lincah, ia mengemudikan perahunya menghindari tali-tali tempat warga membudidayakan rumput laut dan jaring-jaring nelayan.
Dari kejauhan, Kampung Melahing tampak mengapung di tengah lautan. Begitu sampai di kampung itu, warga yang tengah menjemur rumput laut menyambut dengan senyuman yang ramah. ”Selamat datang,” kata seorang warga.
Jalanan kampung itu lebih mirip jembatan, memanjang lurus. Anak-anak tampak bermain dengan gembira di jalanan dari kayu ulin tersebut. Sementara beberapa anak lain mandi sambil berenang di air laut di bawah rumah-rumah itu. Di bawah lantai rumah, sebagian warga membuat keramba kerapu atau baronang. Air yang bening seperti kaca menampakkan ikan-ikan beraneka warna berenang ke sana kemari.
Rumah-rumah berjajar dengan bentuk yang nyaris sama. Saat air surut, tiang itu memperlihatkan ribuan kerang yang menempel.
Meski sehari-hari hidup dikepung lautan, jauh dari daratan, warga tak merasa takut. ”Di mana mudah mencari makan, di situlah kami tinggal, termasuk di tengah laut,” kata Nasir Lakada (43), Ketua RT 016 Kampung Melahing, Kelurahan Tanjung Laut, Kota Bontang.
Nasir berkisah, kampung itu bermula pada akhir 1990-an. Berawal dari semangat mencari sesuap nasi, ia bersama tiga kerabatnya berlayar menuju Bontang selama sehari semalam dari Mamuju, Sulawesi Barat.
Di pesisir kota industri itu mereka menemukan tempat yang mereka rasakan mudah mencari nafkah sesuai dengan keahlian mereka: mencari ikan dan teripang. Awalnya, tutur Nasir, mereka tinggal menumpang di sebuah pondok yang terdapat di sebuah pulau.
Namun, setelah sebulan menumpang, lama-lama mereka tidak enak dengan pemiliknya sehingga memutuskan untuk membuat pondok sendiri. Berbekal kayu bakau yang banyak tumbuh di pesisir Bontang, mereka pun memutuskan membuat pondok di tengah laut.
Mereka menunggu air surut sehingga bisa menancapkan kayu bakau sebagai tiang rumah di dasar laut. Nasir dan kerabatnya sudah tahu seberapa tinggi air laut saat pasang sehingga lantai rumah tidak terendam.
Lama-kelamaan, di sekeliling pondok tumbuh rumah-rumah lain yang dihuni kerabat atau rekan Nasir yang berasal dari Mamuju. Rumah yang awalnya dari pohon bakau sedikit demi sedikit berganti menjadi pohon ulin (Eusideroxylon zwageri), kayu yang tumbuh di belantara Borneo. ”Bakau tidak tahan di air, kalau ulin semakin terendam air semakin kuat,” katanya.
Teripang dan rumput laut
Pada 2002, budidaya rumput laut mulai dilirik warga yang awalnya mencari ikan dan teripang. Budidaya rumput laut lalu menjadi mata pencarian utama karena lebih menjanjikan.
Kini, ribuan tiang kayu ulin menancap di dasar laut, menopang puluhan rumah warga. Di kampung itu tinggal 55 keluarga atau sekitar 200 jiwa bagian dari RT 016 Kampung Melahing, Kelurahan Tanjung Laut, Kota Bontang.
Perahu ketinting atau perahu ekor panjang menjadi andalan untuk mobilitas warga, baik untuk berbelanja keperluan, mengantar anak sekolah, merawat rumput laut, maupun mencari ikan atau teripang.
Warga menikmati listrik selama 24 jam karena keberadaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya Komunal. Pembangkit itu dibangun di ujung kampung. Semua barang kebutuhan pokok, seperti air, beras, dan minyak, didatangkan dari Kota Bontang. Sensasi rasa terasing, tetapi damai sekaligus bebas, langsung menyergap.
Via : piknikbontang.com